Membangun Jogja tanpa APBD Apakah Mungkin?

by  dihin nabrijanto 

Ringkasan Eksekutif

Otonomi daerah sudah lama diterapkan, dana keistimewaan telah lebih dari 5 tahun di kucurkan di Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata belum cukup ampuh mendorong percepatan pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar layanan masyarakat, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan, lambatnya pembangunan daerah tersebut dipicu kurangnya kemampuan Pemerintah Daerah dalam menggalang dana untuk melakukan pembangunan. Pemda hanya mengandalkan sumber-sumber pendanaan konfensional seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari perpajakan, retribusi atau transfer daerah dari pemerintah Pusat. Lebih parahnya, porsi terbesar pemanfaatan APBD di Indonesia ada pada belanja pegawai, baru sisanya untuk untuk anggaran pendidikan dan lainnya, sementara porsi infrastruktur hanya  berkisar pada 16 % , hal yang hampir serupa sama terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Keterbatasan APBD Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pembangunan sarana prasarana Infrastruktur layanan publik Yogyakarta membuat layanan public kebutuhan dasar masyarakat Yogyakarta terkendala.  Sebagai contoh salah satu permasalahan pemenuhan layanan public yang cukup mendasar adalah layanan pembuangan sampah bagi masyarakat Yogyakarta, hal ini dapat kita rasakan bersama beberapa waktu lalu dikarenakan overloadnya TPA sampah Piyungan dan berbagai problem intern lainnya   TPA Piyungan ditutup oleh masyarakat selama 1 minggu,  hal ini berakibat bertumpuk dan menggunungnya sampah di seputar kota Yogyakarta  dan menjadi masalah yang cukup serius bagi masyarakat Yogyakarta,   setelah mendapat perhatian serius dari yang berwenang  kondisi TPA Piyungan pun saat ini masih dalam status darurat yang  sebenarnya memerlukan penanganan sangat segera.

Kondisi ketergantungan pembiayaan pembangunan pada APBD, berakibat terkendalanya pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi pemikiran penting penulis perlunya upaya jalan keluar melalui kebijakan pemerintah daerah yang dapat mendorong mengatur dan payung hukum bagi pengampu program kegiatan dalam mencari alternative pembiayaan non anggaran guna percepatan pemenuhan kebutuhan infrastruktur layanan public di Yogyakarta khususnya dan percepatan pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya.

Latar Belakang Urgensi Masalah

Pembangunan daerah dapat didefinisikan sebagai suatu proses atau usaha mengubah keadaan masyarakat di suatu tempat tertentu menjadi masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks pemerintahan daerah, pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang ada untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata.

Upaya membangun daerah, tidak akan pernah terlepas dari para pemangku kepentingan dan sumber dana untuk pembiayaan. Masing masing level pemerintahan memiliki kewenangan mengalokasikan dana bagi pembangunan di daerah. Pemerintah pusat mengalokasikan APBN untuk dana transfer dan dana bagi hasil kepada daerah. Pemerintah provinsi mengalokasikan APBD provinsi untuk bantuan keuangan dari provinsi kepada kabupaten/kota dan bantuan keuangan kepada pemerintah desa. Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan APBD kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan di daerahnya.

Namun demikian secara umum permasalahan pembangunan di Indonesia adalah tingginya gap antara kebutuhan dan ketersediaan dana, hal ini merupakan permasalahan yang harus diselesaikan agar tujuan pembangunan tercapai.   Ini juga  terjadi pula di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Gap belanja APBD yang cukup besar antara pendapatan dan belanja (Lihat Gambar Bagan 1). Selanjutnya dengan APBD DIY yang berkisar diangka Rp 6 triliun tahun 2019 belum berhasil menurunkan angka kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih cukup tinggi saat ini. Bahkan lebih tinggi dari rata-rata nasional, yakni mencapai 11,81 persen dari angka rata-rata nasional hanya sebesar 9,66 persen.  Faktor ketimpangan wilayah pun dituding menjadi masalah tersendiri yang turut menyumbang angka kemiskinan di Indonesia dan juga di Yogyakarta. (Lihat Index Williamson DIY tahun 2017)

Gambar Bagan 1

Sejumlah literatur menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya ketimpangan wilayah  di Indonesia, salah satunya adalah perbedaan pembangunan infrastruktur antar wilayah. Sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi, infrastruktur berperan signifikan dalam pengembangan wilayah. Beberapa fakta empiris menunjukkan bahwa perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu wilayah berjalan seiring dengan perkembangan ekonominya (Calderón & Servén, 2004; Démurger, 2001; Maryaningsih, Hermansyah, & Savitri, 2014). Hal ini karena perkembangan ekonomi telah menuntut ketersediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang memadai. Keberadaan infrastruktur mendorong peningkatan produktivitas faktor-faktor produksi. Perbaikan infrastruktur meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, karena investasi akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Menurut Siregar & Sukwika (2007)

Dengan keterbatasan sumber dana baik APBN maupun APBD, dan dengan semakin beratnya beban APBD yang harus dipikul dari tahun ke tahun perlu upaya terobosan agar pemenuhan kebutuhan pembangunan infrastrukrur layanan public dan pembangunan daerah secara keseluruhan dapat terjamin pelaksanaannya. Terobosan ini perlu diupayakan dengan mempertimbangkan karakter, kultur, dan nilai gotong royong masyarakat Yogyakarta. Secara sosiologis, paradigma gotong royong dalam pembangunan telah berkembang dalam masyarakat kita sejak dulu. Paradigma gotong royong mengarah pada upaya kerja sama, partisipasi, dan rasa memiliki, yang dalam konteks budaya Jawa dikenal dengan istilah urun bandha, urun tenaga, dan rumangsa handarbeni. 

Dengan mulai berpikir membangun  Infrastruktur Daerah istimewa Yogyakarta dengan kerjasama gotong royong kemitraan saling menguntungkan porsi APBD dapat lebih focus untuk isu mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan wilayah.

Prinsip gotong royong inilah yang selayaknya menjadi kata kunci, khususnya dalam melaksanakan pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta Selain pembangunan yang dilaksanakan dengan sumber dana APBN dan APBD,  pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta  harus mulai dilaksanakan dengan menggandeng pihak swasta/badan usaha  untuk berpartisipasi dalam bentuk urun bandha dan urun tenaga yang dengan istilah modernnya dinamakan PPP (Public Privat Partnership). Opsi pembiayaan Public Private Partnership (PPP) merupakan terobosan yang digunakan pemerintah untuk mengurangi beban pembiayaan pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana APBN/APBD.

Skema Public Private Partnership (PPP) melibatkan perusahaan swasta dalam membiayai sebuah proyek pembangunan infrastruktur untuk memperoleh benefit yang berbeda dengan cara dan perjanjian atau kontrak yang berbeda-beda pula. Contoh dari skema ini adalah Built Operate and Transfer, Joint Venture, Development Impact Fees dan masih banyak lagi. Skema ini juga sudah banyak diimplementasikan untuk pembiayaan pembangunan sebuah infrastuktur di Indonesia. Pelibatan pihak ketiga ini pada akhirnya memperkuat kultur rumangsa handarbeni secara utuh. Kolaborasi ini dapat mendorong partisipasi masyarakat secara keseluruhan untuk peduli dengan pembangunan daerah. 

Kritik dan Pilihan Kebijakan

Secara regulasi pemerintah pusat telah meluncurkan beberapa kebijakan untuk memayungi alternatif pembiayaan pembangunan non pemerintah antara lain :

a. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Perpres 38/2015

b. Kerjasama daerah Perpres 28/2018

c. Kerjasama Pemanfaatan Aset

d. Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS)

e. CSR (Corporate Social Responsibility)

Pemerintah Daerah Daerah istimewa Yogyakarta dengan cerdas telah merespon baik kebijakan tersebut melalui pencanangan program prioritas pembangunan di Daerah istimewa Yogyakarta Tahun 2019 (Lihat Gambar Bagan 2) dan pembentukan organisasi baru lalu setingkat eselon 2 pada mulai bulan Januari 2019, Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan (PIWP2)  Setda DIY sebagai satu satunya biro yang hanya ada satu di Indonesia yang di dalamnya dibentuk Bagian Pembiayaan Pembangunan Non Pemerintah dengan Program kerjanya Pengembangan Sumber sumber pembiayaan  pembangunan non pemerintah. Biro PIWP2 Setda DIY sebagai biro baru yang masih mencari bentuk pengembangan pembiayaan non anggaran untuk mempercepat pembangunan di DIY. Namun demikian untuk menerapkan kebijakan tersebut bukanlah hal yang mudah, merubah mindset birokrasi dari yang semula berorientasi APBD menjadi kerjasama kemitraan dengan swasta. Perlu tahapan dan penciptaan iklim kerja yang sistematis untuk merubah perilaku organisasi dari birokrat yang berorientasi APBD minded menjadi birokrat yang berwawasan interprener minded memanfaatkan skema skema pembiayaan pembangunan non anggaran untuk mempercepat pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut pemikiran penulis paling tidak ada 3 hal yang perlu dilakukan untuk menuju upaya tersebut, pertama penyiapan sumber daya manusia yang handal dan mumpuni untuk menjalankan program pembiayaan pembangunan non pemerintah, ke dua perlu pula adanya system yang dapat mendorong pengampu program terpicu untuk mulai berpikir membiayai program dengan skema kerjasama untuk mengurangi beban APBD yang dari hari ke hari tuntutannya semakin berat untuk mempercepat pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan ketiga penyiapan regulasi daerah terkait penyiapan pelaksanaan program tersebut. Ke tiga hal tersebut perlu diupayakan  sinergi lintas perangkat daerah dan pemegang kebijakan dari sisi peningkatan sumber daya dan pembentukan system kerja,  bila tidak   apapun program     untuk mulai menjajaki skema kerjasama Pemerintah swasta dalam membangun Daerah Istimewa Yogyakarta tentunya tidak akan mulai terlaksana dan hanya akan menjadi program belaka tanpa implikasi apapun.  

Rekomendasi dan Alternative Kebijakan

Untuk menunjang program pengembangan sumber sumber pembiayaan pembangunan non pemerintah, dapat diawali dengan merubah paradigma pembiayaan pembangunan infrastruktur layanan public di DIY yang semula hanya mengandalkan pada APBD DIY secara bertahap harus dialihkan dengan alternative kerjasama pembangunan dengan badan usaha atau sector swasta, selanjutnya dapat dikembangkan pula skema pembiayaan pelaksanaan kegiatan  yang semata hanya bersumber pada APBD harus mulai bergeser dengan kerjasama swasta yang saling menguntungkan dengan menciptakan peluang alternative pemasukan pendapatan daerah.  

Selain upaya pemenuhan kebutuhan infrastruktur layanan public masyarakat melalui skema pembiayaan pembangunan non anggaran juga perlu di pikirkan skema sharing pembiayaan pelaksanaan kegiatan dengan para professional untuk mendongkrak mutu pelaksanaan kegiatan dan kemungkinan mendapatkan peluang menambah pendapatan Daerah.

Sebagai contoh Dinas Kebudayaan melalui Dana Istimewa banyak membuat event yang   menghadirkan para seniman professional  yang memungkinkan untuk di jual kepada masyarakat peminat  penikmat seni (rata rata berpenghasilan mampu), dengan regulasi yang tepat sharing pembiayaan kegiatan (pemerintah dan swasta) dan sharing hasil pendapatan penjualan sesuai prosentasi porsi pembiayaan akan dapat menjadi peluang pendapatan bagi Daerah istimewa Yogyakarta. Hal ini bila dilakukan selain dapat mengurangi beban APBD dalam pelaksanaan kegiatan secara tidak langsung akan ada transver knowledge para professional dalam mengelola kegiatan, Mutu kegiatan akan lebih terangkat karena melibatkan para professional, akan banyak menularkan hal yang positif yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Modifikasi regulasi model peran serta badan usaha pada pembangunan melalui CSR perlu diupayakan sebagai penajaman regulasi pengelolaan dana CSR melalui CSR tematik sehingga pemanfaatan program pembangunan non pemerintah melalui CSR dapat diarahkan sesuai isu permasalahan pembangunan yang di prioritaskan

Menjadi prioritas penting dalam upaya pelaksanaan program besar Pemerintah Daerah di atas adalah penyiapan sumber daya manusia (SDM) Apara Sipil Negara (ASN)  yang paham dan handal untuk mengawal pelaksanaan program pembiayaan pembangunan non anggaran agar dapat berjalan lancar melalui berbagai jenis kegiatan  antara lain : 

1. Penyiapan capacity building, perlu dilakukan diskusi dengan para pakar, akademisi dan praktisi untuk menginventarisasi jenis capacity building disiplin ilmu apa saja yang diperlukan.

2. Pelaksanaan capacity building, perlu diskusi dan koordinasi intensif lintas perangkat daerah untuk menyiapkan hal tersebut, paling tidak diskusi dan koordinasi dari perangkat daerah sisi teknis  kerjasama pemerintah swasta, dari sisi hukum yang akan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul dalam proses pelaksanaan dan selama masa konsesi pelaksanaan serta dari sisi ekonomi pembiayaan program. 

3. Kajian regulasi daerah  harus disiapkan untuk melengkapi aturan di pemerintah yang telah ada sebagai payung hukum pelaksanaan program tersebut.

4. Update item system penilaian kinerja dari hanya berbasis serapan anggaran secara bertahap dan terstruktur meningkat menjadi penilaian kinerja berbasis serapan dan kemitraan, penilaian kinerja pengampu program tidak semata berdasarkan hasil serapan anggaran perlu  penambahan  item penilaian pengukuran kemampuan pengelola program menggandeng mitra dalam mengeksekusi program kegiatan dengan skema simbiosis mutualisma antara pemerintah dan swasta, badan usaha serta  para praktisi usaha yang profesional.

Kesimpulan

Pelibatan pihak swasta/badan usaha dalam percepatan pembanguan  di Daerah istimewa Yogyakarta pada akhirnya dapat memperkuat kultur rumangsa handarbeni secara utuh dan dapat mendorong partisipasi masyarakat dan badan usaha secara keseluruhan untuk peduli dengan pembangunan daerah.

Walau demikian menciptakan kondisi untuk peningkatan peran serta dan partisipasi segala elemen masyarakat dalam pembangunan bukan suatu hal yang mudah, namun juga bukan suatu hal yang mustahil. Dengan kerja sinergi lintas perangkat daerah, membuang ego sektoral dan komitmen yang tinggi, pola pembiayaan pembangunan non anggaran   perlahan dan optimis pasti dapat diwujudkan

Sejalan dengan rasa optimis di atas Menteri Keuangan Republk Indonesia Sri Mulyani dalam suatu kesempatan mengungkapkan terdapat empat hal penting agar pola pembiaayaan pembangunan non pemerintah/Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha dapat berjalan dan terlaksana dengan baik. 

Pertama adalah komitmen dari pimpinan daerah dan stakeholder. Selanjutnya,perencanaan menjadi suatu hal yang penting karena dari awal, perencanaan itulah yang akan menentukan apakah proyek dapat dikerjasamakan. Ketiga adalah cara menyusun struktur kerja sama dan aspek legal dari proyek sehinggamemperoleh kepercayaan darisektor privat/swasta untuk bisa masuk.Keempat, tentu cara melaksanakan kewajiban dari masing-masing stakeholder untuk membuat proyek pola pembiayaan non anggaran/Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha berjalan secara efektif dan efisien.

Daftar Pustaka

Calderón, C., & Servén, L. (2004). The effects of infrastructure development on growth and income distribution (Working Papers No. 3400). Working Papers No. 3400. doi:10.1596/1813-9450-3400.

Calderón, C., & Servén, L. (2014). Infrastructure, growth, and inequality: An overview (Policy Research Working Paper No. 7034). Retrieved from https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/20365. 

JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN, 6 (2), 115-130 http://dx.doi.org/10.14710/jwl.6.2.115-130 (Démurger, 2001; Fan & Chan-Kang, 2008; Surd, Kassai, & Giurgiu, 2011; Warr, Menon, & Rasphone, 2015). 

Siregar, H., & Sukwika, T. (2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tenaga kerja dan implikasi kebijakannya terhadap sektor pertanian di Kabupaten Bogor. SOCA (Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness) , 7(3), 1–22. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/view/4216.

Jul 15, 2020 - Posted by admin -

Comments are closed.